SELAMATKAN TANAH DEMI MASA DEPAN ANAK CUCU
Makeowapa adalah gambaran di mana tanah yang dianggap suci ,keramat, kini sudah berubah menjadi ibukota Distrik Kamuu Utara. Padahal bagi orang Mee Makeowapa merupakan tanah suci, pusat penyebaran manusia dan budaya orang Mee.
“Ketika dasar hidup dijual, digadai, dirusak maka akan hancur pula nilai-nilai hidup kita yang hakiki,” tutur anggota Majelis Rakyat Papua Philipus Degey belum lama ini di Nabire.
Namun lanjut dia kini semua areal keramat itu telah berpindah tangan dari pemilik ulayat ke tangan-tangan pembeli dan pemodal serta berubah menjadi wilayah pemerintahan distrik.
“Ketika daerah daerah keramat dijadikan sebagai dasar kehidupan dan sentral budaya dihancurkan maka kita akan kehilangan jati diri yang sejati dan tidak ada tempat bersandar hidup. Karena dasar hidup dijual, digadai, dirusak maka akan hancur pula nilai-nilai hidup yang hakiki,” tuturnya.
Sebenarnya hilangnya tempat-tempat keramat dan sakral di tanah Papua baru sekarang ini terjadi. Sudah terjadi sejak awal 1960 an di mana kepeningan bisnis dan politik mulai menapakan tajinya di mana-mana terutama areal pertambangan, hutan dan pembangunan jalan trans serta lokasi permukiman baru termasuk program transmigrasi.
Lihat saja Gunung Ertsberg atau Yelsegel Ongopsegel di daerah Kabupaten Mimika. Gunung keramat orang Amungme harus rela isi perutnya dilubangi karena kepentingan emas, perak dan tembaga demi sebuah investasi Walau gunung-gunung itu tempat keramat dan dunia tempat tinggal roh.
Sebab kekuatan dunia roh ini, menurut masyarakat adat didapat dari tanah, sehingga kepemilikan tanah bagi Masyarakat Hukum Adat (MHA) adalah sesuatu yang mutlak. Kepemilikan atas tanah ini akan memberikan kekuasaan bagi MHA untuk memberlakukan adat mereka.
Kepercayaan-kepercayaan ini tumbuh dan bertahan pada kelompok-kelompok MHA.Misalnya pada masyarakat Distrik Napan, yang meyakini bahwa hulu sungai Lagari yang dikenal dengan nama Nuba Urigwa adalah tempat yang sakral, yang menjadi tempat tinggal Kuri. Keyakinan ini membuat masyarakat dari kelompok budaya Kuri di kawasan Napan-Weinami dan Makimi memahami seluruh Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai wilayah yang tidak boleh dirusakan karena kehidupan sungai bersumber pada tanah di sekitarnya. Tanah dianggap rahim bagi air sungai dan air laut.
Sedangkan pada budaya Suku Ngalum, Kabupaten Pegunungan Bintang setiap pohon, rotan, sungai, gunung hingga batu berhubungan dengan erat dengan suku-suku disekitarnya. Begitu eratnya hubungan ini sehingga dalam pembukan lahan, setiap laki-laki yang terlibat wajib memakan segumpal tanah. Ini mencerminkan bahwa tanah merupakan sumber kesuburan dan kehidupan sehingga masyarakat Ngalum harus mengikatkan dirinya dengan tanah yang tidak lain dianggap sebagai ibu.
Kini penggalan tanah yang terletak di sepanjang jalan Poros Trans Nabire –Ilaga tepatnya di Distrik Kamuu dan Distrik Kamuu Utara alias Lembah Kamuu Kabupaten Nabire telah terjual habis . Karena tanah terjual habis, kini hutan mulai dirambah sehingga kayu mulai di jual. Lantas akan kemanakah anak-cucu Masyarakat Lembah Kamuu? Entahlah tetapisebagian besar Tanah yang terletak ditempat strategis telah terjual habis.
Mulai dari Mata jalan Ekemani sampai di Idakoto yang kini dijuluki “kota baru” . Sepanjang jalan dari Pusat kota Moanemani hingga Mauwa tak ada yang tersisa, semuanya telah berpindah tangan dari pemilik ulayat kepada pembeli.
Lalu di distrik Kamuu Utara ,di sepanjang jalan raya Trans Papua KM 207 sudah habis dijual,bahkan di halaman depan Puskemas Idakebo saja telah dibangun barak kios. Tanah-tanah disitu dijual dengan kisaran harga lima juta ke atas. Makeowapa sendiri sejak dulu diyakini sebagai tempat keramat.
Tanah dan seisinya adalah asset satu-satunya yang dimiliki oleh masyarakat local maka masyarakat perlu mengamankan dari pencaplokan dari pihak lain. Strutur adat di lembah Kamuu tidak sama dengan struktur adat daerah lain tetapi kembali pada nilai-nilai budaya.
Lebih lanjut, Philipus Degey menjelaskan bahwa menjual tanah berarti menjual ibu yang memberi susu dan madu, juga menyerahkan diri sendiri dengan seluruh hidupnya. Kalau ada yang menjual tanah lagi maka sebaiknya diusir saja dari kampung.
“Tanah bukan warisan kepada kita melainkan hanya dititipkan sementara buat anak cucu yang akan datang. Sehingga kita tak perlu lagi mengklaim tanah bahwa itu milik saya, tetapi bagaimana menjaga harta satu-satunya milik cucu kita dan menghiasi tanah ini dengan berkebun atau beternak selama kita hidup diatas tanah.” ujar Philipus Degey.
Philpus juga mengakui jika panorama lembah Kamuu memang sangat indah sehingga banyak yang ingin mencaploknya. Maka harus dipertahankan sebagai harta utama yang dimiliki. Jika tanah tersebut hilang maka sama saja dengan kehilangan segalanya sebagai orang asli. Sebab hanya tanah inilah dimiliki. Juga jika pemilik tanah dan orang luar bercampur maka pemilik ulayat akan hilang ditengah penduduk yang baru datang.
“Jika menjual rotan, kayu, batu, atau pasir, tidak jadi soal. Tapi bila menjual tanah berarti mama sendiri.” tegasnya.,
Sedangkan menurut Andreas Goo, S.Sos, salah satu intelektual di Nabire, sistem yang berlaku pada Masyarakat Adat adalah berdiri diatas tanah. Hidup dan bekerja diatas tanah yang nantinya akan menjadi Tonowi. Ketonowian didapat melalui kerja dan usaha dari tanah. Sehingga saat ini, untuk merusak system tatanan kehidupan orang Mee, banyak orang yang datang dengan membawa sejumlah uang untuk membeli tanah.
Paulinus Agapa, tokoh agama orang Mee mengibaratkan manusia sebagai kayu yang tumbuh diatas tanah.
“Ibarat kayu yang tumbuh dari dalam tanah, maka manusiapun hidup dari kecil diatas tanah. Sehingga harus menghargai tanah seperti menghargai ibu sendiri. Emanuel Goo
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda