Selasa, 01 Januari 2008

KARGOISME,OTSUS DAN MERDEKA

Emanuel Goubo Goo

Bagi masyarakat Papua gerakan Kargoisme, merdeka, dan otonomi khusus ini menjadi sebuah tumpuan harapan yang tak kunjung tiba, pasalnya baik kargoisme, opsi merdeka, maupun otonomi meninggalkan pengetahuan atau jajaran yang akan datangnya suatu masa kebahagiaan, kemakmuran dan kesejahteraan lahir batin bagi rakyat jelata yang mendukung dan menyakininya, sehingga rakyat Papua menanti kenyataan dari ketiganya. Lantas kapan akan menjadi kenyataan? Itulah pertanyaan mendasar yang harus kita jawab, sebab rakyat mengorbankan segala harta benda bahkan nyawapun menjadi taruhannya atas sebuah harapan. Sebab itu melalui tulisan, ini hendak melihat atau menggambarkan kargoisme, merdeka, dan otonomi khusus yang hanya memberikan harapan-harapan semu. Gerakan kargoisme sering berhubungan mitologi yang dimiliki dan diyakini kebenarannya oleh pemilik mite, sebab fungsi mite selain dipakai untuk membenarkan perubahan dan menjadi model bagi perubahan yang diharapkan atau terjadi, juga mite menjadi perangsang bagi suatu gerakan akan membawa perubahan, yang ujung-ujung berimbas pada gerakan kargoisme. Bila kita memiliki mite alias mitologi-mitologi yang ada dalam masyarakat dan dinyakini akan kebenarannya oleh hampir setiap etnis di Papua dengan versi dan ceritanya yang berbeda-beda namun semuanya menceritakan akan suatu zaman kebahagian, kemakmuran, dan kesejahteraan bagi pemilik mitos, maka akhirnya timbul suatu gerakan kargoisme, dengan pemimpin-pemimpin yang mengakui utusan dari pemimpin yang telah pergi kedunia luar atau kedunia barat, sehingga pengikutnya mengorbankan harta benda, keluarga, bahkan nyawapun dipertaruhkan. Gerakan “koreri” pada etnik Biak misalnya, awalnya berasal dari mitologi tentang Mansern Nanggi atau Mansern Manarmakeri (tuhan langit) yang menceritakan tokoh dewa yang pernah berada di dunia roh, serta merta mengetahui rahasia hidup dan mati, mengetahui untuk memperoleh harta benda, dan kemampuan untuk menyebabkan wanita hamil dengan cara-cara yang luar biasa (dapat menciptakan manusia) dan menciptakan alam. Namun karena cacat atau buruk maka tidak diakui manusia, karena itu ia pergi kearah barat kemudian menghilang dengan membawa serta segala rahasia-rahasia mengenai sumber-sumber kekayaan dunia, yang akhirnya muncul pemimpin-pemimpin baru yang mengakui utusan dari Mansern dengan gerakan koreri yang digandrungi oleh Angganita Manufuar dll. Yang apada ujung-ujungnya mengarah pada gerakan kemerdekaan yang berontak kepada para penguasa pada waktu itu. Dari sepenggal mitologi Mansern Manarmakeri ini dapat diakui bahwa orang Biak masih menyakini mitos itu bahwa benar-benar terjadi, yang juga dapat dibuktikan melalui tanda-tanda berupa benda-benda histori yang ditinggalkan, sehingga memberikan suatu harapan akan datangnya suatu masa keemasan atau kebahagiaan bila Mansern Manarmakeri kembali dari dunia barat alias dunia luar. Mitos ini bagi dunia luar selain orang Biak irasional, namun orang Biak menyakini sebagai suatu kebenaran dan dapat mengikuti atau dihubungkan dengan perkembangan zaman dewasa ini. Kita dapat juga memiliki etnik lain di Papua tentang mitologi-mitologi seperti itu, (koyeidaba pada orang Mee di pantai) walau jalan cerita dan versinya berbeda-beda namun maknanya ceritanya hampir sama ini ceritanya hampir sama ini mengarah pada gerakan keagamaan yang mengharapkan suatu zaman bahagia dan keemasan, sehingga terkandung gerakan bernuansa kemerdekaan yang akhirnya memberikan suatu harapan-harapan semu. Singkatnya mitologi-mitologi yang dimiliki oleh berbagai etnik di Papua, memunculkan gerakan-gerakan kargisme yang pernah berkembang di Papua, yang dipimpin oleh mereka yang mengaku diutus oleh tokoh mitos tersebut, serta merta mengarah gerakan kemerdekaan atau perlawanan kepada para penguasa, karena ketidak sesuaian antara harapan dan kenyataan yang dialami. Hal ini seorang Antropolog David Aberle yang pernah meneliti gerakan kargoisme di Melanisia pun mengakui “gerakan kargoisme muncul karena ketidaksesuaian apa yang diharapkan dengan apa yang dialami. Masyarakat merasa bahwa hak atas tanah, rumah, dan kekayaan diambil oleh penguasa, usaha untuk kesejahteraan dihalangi, kans untuk memperoleh pekerjaan dan menjadi pemimpin telah dihalangi dan diberikan pada orang lain, individu yang gagal dalam tanggung jawab sosial, individu yang merasa dirinya tidak dihargai sehingga meninggalkan gambaran tentang dirinya yang serba salah. Ungkapan ini ada benarnya bahwa selama 40 tahun lebih ini orang Papua tidak dihargai sebagaimana ia sebagai manusia, sehingga sebagian dari orang Papua yang tidak puas atas semua kebijakan penguasa (pemerintah). Kembali ke masyarakat dan membuat gerakan kargo sebagai lampiasan yang ujung-ujung bermuara gerakan kemerdekaan, yang kini telah terkuak ke permukaan publik. Aspirasi merdeka beberapa tahun belakangan ini telah terkuak kepermukaan publik, dimana selama 38 tahun lebih telah dipasung bahkan menjadi misteri publik bagi rakyat Papua, yang kini aspirasi merdeka disalurkan melalui Presidium Dewan Papua (PDP) sebagai suatu bentuk gerakan transformasi dari gerakan-gerakan kargo yang mengarah gerakan kemerdekaan, karena perjuangan gerakan Papua Barat sudah menjadi idiologi dan harapan akan datangnya suatu masa keemasan bagi rakyat Papua, yang dapat diilhami lewat mitos-mitos dari berbagai etnis di Papua. Segala aspirasi, harapan, serta harta benda bahkan nyawapun dipertaruhkan demi meraih sebuah harapan merdeka via Presidium Dewan Papua. Namun Ketua Presidium Dewan Papua juga pemimpin besar Dewan Papua juga pemimpin besar rakyat Papua yang telah menyuarakan aspirasi merdeka telah ditumbangkan oleh pihak yang kontra dengan perjuangan merdeka pada Nofember 2001 lalu. Walaupun They telah tiada, rakyat Papua telah diberikan kekuatan batin oleh Thom Beanal bahwa walau They telah dibunuh, masih ada 1000 they akan muncul, sehingga memberikan suatu harapan akan diperjuangkan aspirasi merdeka. Gerakan Papua merdeka direlevansikan dengan mitos-mitos orang Papua, maka mitologi melalui kargoisme menampilkan harapan akan datang suatu masa keemasan bila tokoh mitos kembali dari dunia luar, ini sudah menjadi kenyakinan yang sudah berakar pada masyarakat pemilik kitos. Sementara opsi merdeka menjadi tumpuan harapan masyarakat Papua dalam meraih kebahagiaan, kemakmuran, dan kesejahreraan lahir batin, sebab tak dapat dipelak bahwa dengan jalan kemerdekaanlah orang papua meraih kesejahteraan seutuhnya sehinga masyarakat menanti harapan itu. Aspirasi merdeka sudah tercokol dalam sanubari seantero masyarakat Papua, bahwa satu-satunya untuk meraih kesejahteraan adalah “merdeka”. Hal ini juga diperkuat oleh Thom Beanal Ketua Tim seratus (waktu itu) pada dialog dengan Presiden Habibie “ merdeka adalah harga mati yang tidak dapat ditawar-tawaran politik”. Pernyataan Nagawan Amungme ini telah mengalami keberadaan masyarakat Papua, sebagaimana selama 48 tahun lebih ini orang Papua tidak dihargai sebagai insan ciptaan Tuhan sehingga sebagian dari mereka (Papua) yang tidak puas atas kebijakan pemerintah (Belanda-Indonesia) alalu kembali ke masyarakat dengan gerakan kargo sebagai lampiasan ketidakpuasan yang akhirnya muncul gerakan kemerdekaan. Pakar Antropologi Indonesia (almarhum Prof. Koenjaraningrat) pun pernah mengakui hal itu karena benci terhadap lapisan atas (penguasa) sering memberikan aspek politik yang menyebabkan timbulnya gerakan kemerdekaan. Lantas apakah kita dapat menghilangkan gerakan yang sudah berakar dan sudah menjadi idiologi bangsa Papua ini? Entahlah, tetapi yang jelas aspirasi merdeka yang disalurkan melalui pemimpin-pemimpin transformator Presidium Dewan Papua yang akan sedang diperjuangkan melalui berbagai jalur ini sulit dihilangkan dengan berbagai tawaran politik dari penguasa Indonesia, karena rakyat menanti harapan yang dinyakini akan datangnya suatu negara, dengan berbagai mitos orang yang ditransmisikan secara turun temurun dari leluhurnya. Guna meredam “ harapan-harapan “ orang Papua pemerintah Indonesia telah menawarkan otonomi khusus yang gencar dibicarakan dewasa ini dengan slogan para penguasa “ Rakyat Papua akan sejahtera dan menjadi tuan di atas negerinya sendiri “, bahkan lebih dari itu dalam penjabaran Undang-undang Otonomi Khusus begitu menarik, sehingga menyakinkan masyarakat untuk menerima otonomi khusus. Lalu otonomi khusus yang telah disusun dan disosialisasikan ini benar-benar akan memberikan kesejahteraan lahir bathin orang Papua, ataukah hanya tinggal slogan untuk mengelabui rakyat Papua yang telah hilang emosi terhadap pemerintah Indonesia ??? Untuk ketiga kalinya (Gerakan Kargo, Opsi Merdeka, Otonomi) orang Papua diberikan harapan diatas harapan semu tanpa adanya suatu realitas, secara spikologis orang Papua pada bingung entah hendak ikut yang mana, ibarat berada dipersimpangan jalan. Apakah ikut menyuarakan aspirasi? Atau menerima otonomi khusus ataukah kembali pada gerakan Kargoisme. Inilah suatu dilema orang Papua dalam meraih perjuangan kemerdekaan Papua Barat, yang di dalamnya rakyat jelata. Selalu saja dipermainkan bahkan harta kekayaan, keluarga, serta nyawapun di korbankan demi sebuah harapan. Lantas dapat dipertanyakan bahwa bukanlah rakyat Papua ini ciptaan yang sederaj dengan manusia lain dibumi ini??? Begitu gampakah kita dapat mempermainkan mereka dengan berbagai harapan-harapan dilema yang membingungkan? Oleh karena itu kepada Presidium Dewan Papua sebagai penyalur suara rakyat Papua dan pemerintah Indonesia (Legislatif, Eksekutif Papua dan Pemerintah Pusat). Perlu memberikan suatu kejelasan dan kepastian atas pemberian harapan-harapan semu yang pernah dan sedang digembar-bemborkan yang dapay selesaikan melalui suatu dialogis yang demookratis, semoga semua harapan-harapan orang Papua menjadi realistis.

Penulis adalah Wartawan Tabloid Suara Perempuan Papua

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda