Ketika Anak Papua Jadi Pemulung Di Negeri Emas
Beginilah nasib seorang anak Papua yang putus sekolah. Yunus, demikian nama samarannya. Sehari-harinya dia berkutat menanngis rejeki ditegah hiruk pikuknya dinamika perkotaan. Kumpul kaleng di tong sampah adalah rutinitasnya setiap hari. Mencari dan mengumpulkan kaleng bekas dipinggiran kota.
Dia sering disindir sebagai pemulung sampah. Maklum, setiap tong/tempat samp[ah bahkan dipingiran rumah masyarakat adalah wilaya operasinya. Praktis, makan dan minum seharinya tergantung dari hasil pendapatan penjualan kaleng kosong.
Belum lama ini, Yunus pergi mencari kaleng di kompleks asrama SMA. Disana dia ketemu teman-teman sekolah di waktu SD tempo dulu. Dia kemudiaan memanggil beberapa teman yang tinggal di asrama itu. Merekapun terlibat dalam sebuah perbincangan. “Kalian ada simpan kaleng-kaleng kosongkah?”, tanya’ Yunus .“Eh... ko kenapa begitu? Ayo kamu masuk sekolah saja!.” Balas seorang anak asrama. “Ah... saya tidak ada uang jadi saya kumpul-kumpul kaleng saja,” jawab Yunus.
“Terus kamu punya orangtua kandung masih hidup atau sudah meninggal?.” Tanya seorang lagi. “Masih hidup, tapi mereka tidak bayar uang sekolah,” aku Yunus. “Ooh... jadi orang tua kamu ada uang tapi mereka tidak bantu kamu sekolahkah?”, tanya teman tadi.
Yunus menjawab, “Betul sudah, orang tua kalo ada uang selalu minum mabuk saja. Jadi saya dengan adik-adik. Bapak punya uang hanya perta mabuk saja tapi biar , saya akan kumpul uang sendiri dan saya akan masuk sekolah, supaya saya juga sekolah seperti kalian. Saya senang kalau saya sendiri cari uanguntuk makan minum”.
Demikian sepanggal kisah nyata yang kemudiaan diangkat dalam Doa Keluarga yang dirayakan dalam bentuk sharing di Stasi Santo Yohanes Pemandi Karadiri I Paroki KSK Nabire, Minggu (25/05)
Ibadah dipimpin pewarta/katekis ibu Bambang, yang mengangkat realitas yang terjadi di tanah Papua. Rata-rata anak asli Papua bekalangan memilih menjadi pemulung sampah.
Ibu Bambang dalam sharingnya mengatakan, kasih tadi menampilkan sikap hidup kelurga (orang tua) yang tidak beres. Sikap orang tua yang mengorbankan anak dan membuata masa hidup menjadi terlantar. Baik pendidikan maupun kenyataan hidup keluarga jaman sekarang yang mempraktekkan budaya boros dan budaya menghabiskan hasil pendapatannya, sehingga banyak anak Papua diterlantarkan oleh keluraganya. Bahkan hidup keluarga jadi berantakan.
Hidup keluarga dengan mabuk-mabukan selalu melahirkan berbagai ekses negetif seperti anak-anak tidak memperhaatikan, suami dan istri selalu berkelai, lantai rumah dan dapur tidak bersih, makanan keluarga tidak teratur degan baik, dan lain sebagainya. Menurut Ibu Bambang, kisa nyata seperti yang dialami seperti Yunus, memang terjadi dan bisa dijumpai di berbagai kota-kota di Tanah Papua, termasuk di Nabire. Hal sama juga terjadi di pelosok-pelosok Papua sesuai perkembangan pembangunan.
Lebih jauh dikemukakan, realitas bahwa kondisi keluarga kurang harmonis karena kekeliruan pandangan dan mentalitas manusia. Pola pikir tentang kelurga yang keliru, yang tidak sesuai perubahan-perubahan jaman. Karena itulah, karena itulah banyak keluarga miskin ekonomi dan akhirnya bercerai walaupun sudah nikah gereja, anak terlantar, gizi anak rendah, pendidikan anak rusak, dan sebagainya.
Disimyalir hal itu terjadi karena dalam suatu rumah ditempati oleh lebih dari dua atau tiga keluarga, lantas sebenarnya siapa pemilik rumah? Tidak jelas, jika sudah banyak keluarga tampung di satu rumah, banyak persoalan terjadi, apalagi keluarga rendah, sulit membenahi kebutuhan sehari-hari.
Sekalipun uang banyak, memiliki harta benda, tetapi bila tidak diatur baik, tidak menginverstasi, maka tetap miskin sampai mati. Mentakitas
Pewarta ini menilai, kadang orang salah berpikir bahwa seseorang menikah demi menghidupkan semua kerabat keluarganya. Calon istri atau calon suami berfiukir bahwa saya haris kawin dengan dia supaya dia harus memperhatikan keluaraga saya. Itu boleh-boleh saja, tetapi pandangan semcam ini sangat keliru. Sebab membagun keluarga baru adalah sama dengan membangun Rumah Allah, Bait Allah. Dalam keluarga baru berjuang mewujudkan nilai-nilai kritiani. Setiap keluarga mendapat tugas tersebut. Kelraga kecil yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak adalah sebuag Gereja kecil yang harus dan ditata dan dihidupkan besama-sama, bukan orang lain yang datang mengaturnya.
Untuk itu, ibu empat anak ini mengharapkan, setiap keluarga dituntut menata kelurganya sendiri, bukan tergantung pada keluarga taua orang lain. Setiap keluarga menyadari akan pentingnya keharmonisan hidup sebagai suatau gereja mini. Keluarga sendirilah yang menghidupi kehidupan keluarga. Tidak benar jika kehidupannya mengharapkan kepada keluarga atau pihak lain.
Keluarga katholik yang benar adalah keluarga yang hidup dalam kasih Kristus. Keluarga yang saling menghargai, menghormati, saling mendegar. Keluaraga yang takut pada Allah, saling menerima apa adanya, tidak menceritakan keburukan keluarga lain, saling membantu satu sama lain, serta berdoa aktif bersama.
Pengalaman baik dan buruk kata ibu Bambang, harus dialami bersana dalam kehidupan keluarga. Keluraga hendaknya menghindari sumber-sumber konflik yang terjadi dalam keluarga itu sendiri, juga dariu luar. Hanya karena ekonomi rumah tangga tidak terpenuhi, sering terjadi kacau, misalnya. Jika terjadi demikian, setiap keluraga harus tanya apakah hal ini menjadi jaminan hidup keluarga?.
“Orang Papua memiliki banyak kekayaan, tetapi keluarga justru menjadi miskin. Kenapa? Kekayaan dibagi-bagi dengan saudara lain tanpa memikirkan pendidikan anak, kebutuhan keluarga dan sebagainya,” sorotnya.
Meski orang Papua adalah tergolong orang kaya tetapi menurut Ibu Bambang, banyak keluarga yang hidupnya tergantung pada orang lain. Mentalitas ini berkembang ketika dimana Otonomi Khusus (Otsus) dan dana-dana lain diberikan secara langsung kepada rakyat Papua. Sikap berharap pada bantauan pemerintah kian subur di tengah masyarakat.(emanuel goo -nabire) .
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda