Kamis, 03 Januari 2008

Kisah-kisah Pemulung Di Negeri Emas Nabire


Yakob . Begitulah panggilan anak berusia 11 tahun yang kesehariannya yang kerjanya hanya memulung sampah dipinggiran jalan raya, seputaran tumpukan sampah, juga di kompleks rumah warga . Pagi itu (26/07)lalu , Yakob yang berdomisili di Karang Mulia Nabire baru saja keluar dari rumahnya sambil menenteng sebuah karung plastic sementara ditangan kanannya memegang sebuah besi beton sambil sesekali mengorek-korek sampah yang tersangkut diparit . Ia melongok sebuah tong sampah yang berada di dekat kali Nabire . Namun, sejak pagi tadi , tong sampah dibersihkan maka Ia meneruskan pemburuannya. Sebelum beranjak dari tempat sampah ada dua kaleng fanta tercecer diluarnya maka bergegas memungut dan memasukan dalam karunng yang sejak dari tadi belum dimasukan sebuah kaleng sebagai sasaran perburuannya . Tak ada yang bakal didapatnya , maka ia melangkah ke tempat sampah lain sambil mata nya melongok ke parit sebelah menyebelah . Ia menelusuri beberapa tong sampah namun tak ada yang didapatkan . Kemudian Ia merambah memasuki rumah-rumah warga yang dibilangan karang Mulia Nabire . Tak juga didapat , hanya dua buah rongsokan kompor tua yang didapat disebelah rumah warga,. Ketika dia memungut rongsokan terssebut , seorang Ibu separuh baya keluar memarahi Yones yang sedang mengeluarkan rongsokan itu . “ Eh…! Ko jangan pura-pura datang cari kaleng . Kamu datang ke sini tipu-tipu cari kaleng untuk curi kami punya barang –barang. Selkarang juga kau pergi dari sini, dari pada saya pukul kau disini. Kamu tidak ada kerjaan lainkah “ gertak seorang ibu dari dalam rumah . Maka Yakub yang sedang mengeluarkan rongsokan kompor minyak itu, tidak jadi ambil pergi dari kompleks rumah warga itu . Kemudian Ia pergi lagi mengambangi tempat sampah lain namun tidak didapatnya . Walaupun demikian Yakob tak putus asa untuk mencari dan mengumpulkannya . Beginilah nasib seorang anak Papua yang putus sekolah. Yakob demikian nama yang biasa dipanggil teman-temannya.
Sehari-harinya dia berkutat mengais rejeki ditengah hiruk pikuknya dinamika Kota Nabire . Kumpul kaleng di tong sampah adalah rutinitasnya setiap hari. Mencari dan mengumpulkan kaleng bekas dipinggiran kota Nabire baik diemperan tokoh, kompleks rumah warga, dipinggiramg sungai, parit, serta di bawah jembatan .
Dia sering disindir sebagai pemulung sampah. Maklum, setiap tong/tempat sampah bahkan dipingiran rumah masyarakat, dipinggiran sungai , dibawah jembatan, parit adalah wilayah operasinya. Praktis, makan dan minum seharinya tergantung dari hasil pendapatan penjualan kaleng kosong, di tempat penampungan barang rongsokan . Beginilah salah satu kisah nasib anak pemulung di Nabire dari sekian pemulung yang ada di Nabire .Lain dengan kisah Bonata Tebay pemulung p erempuan berusia 11 tahun yang sempat ditemui media ( 28/ 07) di sebuah tempat sampah Di jalan Pemuda Jembatan Kali Nabire . Hari itu dia sudah mengumpulkan dua karung kalengt belas . Karena hari itu dia pikul dua karung di terik matahari maka beristirahat diatas jembatan. “ Hari ini saya dapat kaleng banyak sekali sampe dua karung . saya keluar pagi sekali sebab kalau terlambat teman-teman lain yang dapat atau kitong biasa terlambat sebab trek sampah sudah angkut sampah duluan . Paling – paling dapat kaleng hanya seberapa . Itupun saya kumpul selama satu minggu baru saya biasa pergi jual sama pembeli . Tapi hari ini saya senang sebab saya dapat dua karung . Karena saya keluar dari dari rumah sejak pagi maka saya yang dapat ini dank arena saya cape , istirahat disini kaka” ujar gadis ini ketika berbincang –bincang dengan media ini . Bonata sudah lama melakoni pekerjaan pemulung sampah , sejak ibunya meninggal lalu ayahnya menikah dengan isteri pada dua tahun lalu . “ Saya kerja begini , setelah mama meninggal sebab bapak kawin lagi. Sejak itu saya keluar sekolah dari kelas III SD Negeri Karang Tumaritis . Kalau dapat kaleng maka saya jual lalu beli nasi kuning . Saya tinggal sama tante di Kaliharapan . Saya sudah lama melakukan kumpulkan kaleng , sebab kalau siang dirumah tante dorang tidak masak makanan maka saya mulai kumpul-kumpul kaleng seperti tetangga saya . Mula-mula saya ikut-ikutan teman-teman tetangga . Tapi sekarang saya sendiri bisa kumpulkan dimana-mana. Kalau sudah kumpul kaleng banyak, pergi jual asama mas-mas yang pembeli dengan harga 1 Kg Rp.3.000,- ” kisah gadis ini . “ Saya keluar sekolah karena mama meninggal lalu bapa titipkan saya sama tante, lalu dia kawin lagi . Di rumah tante , tidak biasa makan siang maka saya ,Teus( anak tantenya), markus selalu cari kaleng saja untuk membeli nasi atau kue” urainya .Inilah kisah Bonata Tebay , dan Yakub, lalu bagaimana dengan nasib pemulung Elias Murib yang beroperasi di KPR Siriwini ?. Belum lama ini Marsel datang berburu kaleng di kediaman agen media ini di jalan Padat Karya KPR Siriwini . Disana ketemu dengan media ini, kemudiaan sempat terlibat dalam sebuah perbincangan. “ ada simpan kaleng-kaleng kosongkah?”, tanya’ Yakobus . kenapa menekuni pekerjaan mencari kaleng ? “Ah... saya tidak ada uang jadi saya kumpul-kumpul kaleng saja, ” jawab Yunus.
“Terus kamu punya orangtua kandung masih hidup atau sudah meninggal?.” . “Masih hidup, tapi mereka tidak bayar uang sekolah,” balas yakobus . “Ooh... jadi orang tua kamu ada uang tapi mereka tidak bantu kamu sekolahkah?”, tanya media ini lagi . Yakobus menjawab, “Betul sudah, orang tua kalo ada uang selalu minum mabuk saja. Jadi saya dengan adik-adik, kerjanya kumpul-kumpul kaleng saja. Bapak punya uang hanya dipakai mabuk saja tapi biar , saya akan kumpul uang sendiri dan saya akan masuk sekolah, supaya saya juga sekolah seperti teman-teman saya yang. Saya sekarang dorang sudah masuk SMP . senang kalau saya sendiri cari uang untuk makan minum” Urai bocah berusia 12 tahun ini sembari ngeluyur pergi .
Demikian penggalan-penggalan realitas yang terjadi di Nabire yang konon negeri Emas . Rata-rata anak asli Papua bekalangan memilih menjadi pemulung sampah.Menurut Matias Ketua Solidaritas anak-anak jalanan Nabire mengatakan kisah tadi menampilkan sikap hidup keluarga (orang tua) yang tidak beres. Sikap orang tua yang mengorbankan anak dan membuat masa depan hidup anak menjadi terlantar. Baik pendidikan maupun ekonomi . Kenyataan hidup keluarga jaman sekarang yang mempraktekkan budaya boros dan budaya menghabiskan hasil pendapatannya, sehingga banyak anak Papua diterlantarkan oleh keluarganya. Bahkan hidup keluarga jadi berantakan.
Hidup keluarga dengan mabuk-mabukan selalu melahirkan berbagai ekses negetif seperti anak-anak tidak memperhatikan, suami dan istri selalu berkelahi, lantai rumah dan dapur tidak bersih, makanan keluarga tidak teratur degan baik, dan lain sebagainya. Menurut Pigay kisah nyata seperti yang dialami anak-anak ini , memang terjadi dan dapat di jumpai di berbagai kota-kota di Tanah Papua, termasuk di Nabire. Hal sama juga terjadi di pelosok-pelosok Papua sesuai perkembangan pembangunan dan dinamika kehidupan masyarakat .
Lebih jauh dikemukakan Matias realitas bahwa kondisi keluarga kurang harmonis karena kekeliruan pandangan dan mentalitas manusia. Pola pikir tentang keluarga yang keliru, yang tidak sesuai perubahan-perubahan jaman. Karena itulah, banyak keluarga miskin ekonomi dan akhirnya bercerai walaupun sudah nikah gereja, anak terlantar, gizi anak rendah, pendidikan anak rusak, dan sebagainya.
Disinyalir hal itu terjadi karena dalam suatu rumah ditempati oleh lebih dari dua atau tiga keluarga, lantas sebenarnya siapa pemilik rumah? Tidak jelas, jika sudah banyak keluarga tampung di satu rumah, banyak persoalan terjadi, apalagi keluarga yang ekonomi rendah, sulit membenahi kebutuhan sehari-hari.
Sekalipun uang banyak, memiliki harta benda, tetapi bila tidak diatur baik, tidak menginvestasi, maka tetap miskin sampai mati.
Mantan Alumni Uncen Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial ini menilai, kadang orang salah berpikir bahwa seseorang menikah demi menghidupi semua kerabat keluarganya. Calon istri atau calon suami berfikir bahwa saya harus kawin dengan dia supaya dia harus memperhatikan keluaraga saya. Itu boleh-boleh saja, tetapi pandangan semacam ini sangat keliru. Sebab membangun keluarga baru adalah sama dengan membangun Rumah . Dalam keluarga baru berjuang mewujudkan keluarga yan sejahtera baik dirinya maupun anak-anaknya .Bukan menelantarkan anak-anak sehingga akhirnya mereka jadi pemulung diatas negeri Dollar ini . Setiap keluarga mendapat tugas tersebut. Keluarga kecil yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak adalah sebuah Gereja kecil yang harus dan ditata dan dihidupkan bersama-sama, bukan orang lain yang datang mengaturnya.
Untuk itu, Ketua solidaritas anak-anak jalanan ini mengharapkan, setiap keluarga dituntut menata kelurganya sendiri, bukan tergantung pada keluarga lain atau orang lain. Setiap keluarga menyadari akan pentingnya keharmonisan hidup sebagai suatu bahtera mini se dang berdayun ditengah –tengah lautan lepas . Kita berusaha selamatkan generasi masa depoan ini bukan menelantarkan mereka .Keluarga sendirilah yang menghidupi kehidupan keluarga. Tidak benar jika kehidupannya mengharapkan kepada keluarga atau pihak lain.
Keluarga yang benar , keluarga yang hidup dalam kasih, mengantar anak ke pintu kesuksesan kepada kehidupan lebih baik dari kita bukan menggiring kepada dunia kehancuran atau masa depan yang suram . Keluarga yang saling menghargai, menghormati, saling mendengar, saling berdiskusi, saling menerima apa adanya, tidak menceritakan keburukan keluarga lain, saling membantu satu sama lain, serta ikut aktif bersama dalam kegiatan-kegiatan sosial demi mengantar dan menyelamatkan masa depan anak-anak generasi masa depan .
Pengalaman baik dan buruk kata Pigay harus dialami bersama dalam kehidupan keluarga. Keluraga hendaknya menghindari sumber-sumber konflik yang terjadi dalam keluarga itu sendiri, juga dari luar. Hanya karena ekonomi rumah tangga tidak terpenuhi, sering terjadi kacau, misalnya. Jika terjadi demikian, setiap keluraga harus tanya apakah hal ini menjadi jaminan hidup keluarga?.
“Orang Papua memiliki banyak kekayaan, tetapi keluarga justru menjadi miskin. Kenapa? Kekayaan dibagi-bagi dengan saudara lain tanpa memikirkan pendidikan anak, kebutuhan keluarga dan sebagainya,” sorotnya.
Meski orang Papua adalah tergolong orang kaya tetapi menurut Matias , banyak keluarga yang hidupnya tergantung pada orang lain. Mentalitas ini berkembang ketika dimana Otonomi Khusus (Otsus) dan dana-dana lain diberikan secara langsung kepada rakyat Papua. Sikap berharap pada bantauan pemerintah kian subur di tengah masyarakat. Dan satu kelemahan pemerintah bahwa perhatian pemerintah terutama dinas sosial sangat tidak peka melihat realitas anak-anak ini , padahal UU dasar Negara ini telah menjamin anak-anak terlantar namu n pada realitasnya pembiaran terhadap dinamika anak –anak pemulung ini . Maka diperlukan Dinas terkait perlu melakukan penanganan , kalau bilang tidak ada sangat omong kosong . Dana besar diturunkan itu semua dikemanakan ?” tanya pigay .emanuel goo

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda