Albertina Youw,S.Si "Mencoba Mendobrak Tradisi"
Tidak banyak memang Perempuan dari Nabire ,khususnya Lembah Kamuu Moanemani yang menduduki posisi penting dan menentukan dalam masyarakatnya. Hal itu terutama disebabkan oleh budaya tradisi yang memberikan pandangan dan peran yang berbeda dibanding kaum laki-laki. Dan tidak banyak pula dari kaum perempuan ini yang mempertanyakan . Salah satu dari yang sedikit itu adalah Albertina Youw ,S.Si “Pastor” Paroki Santa Ratu Rosari Idakebo Keuskupan Timika di Tanah Papua. Hari itu 03 April 2007.Ketika Umat Katolik lagi memasuki masa paskah. Umat antuasias memeriahkan paskah. Suasana kediamannya yang terletak di Jalan Poros Nabire –Ilaga Kilometer 200 ibukota kabupaten Nabire selalu ramai dikunjungi umat demi meminta pelayanan. Di meja tamu bertengger sebuah pot bunga. Sementara diruang kerjanya ada sebuah computer, lalu di sebelah berderet beberapa buku.
Sekitar 30 menit menunggu barulah perempuan ini berbincang-bincang . Ia menuturkan panjang lebar berbagai persoalan yang mengungkungi kaum perempuan di daerah Lembah Kamuu yang menurutnya harus didobrak, karena bukan zamannya lagi.
Albertina menyadari bahwa kondisi kaumnya yang belum beranjak adri keterpurukan yang dilatari oleh budaya patriarki yang masih dominant. Kondisi yang sesungguhnya bukan menjadi pilihan perempuan dimana saja,termasuk kaum sedaerahnya. “ Kelemahan atau kekalahan itu bukan berasal kaum perempuan sendiri, tetapi oleh kultur” katanya. Ia mencontohkan posisi dan peran perempuan dalam masyarakat yang ditentukan oleh kaum lelaki. Di Lingkungan masyarakatnya ,hal-hal seperti ini diwacanakan terus . Kesadaran akan kesamaan peran dan dan kedudukan antara perempuan dan laki-laki inilah yang selalu ia selipkan dalam pesan dan kotbah-kotbahnya . Wacana yang terus-menerus dan seluas mungkin tentang masalah ini sedikit demi sedikit dapat mengungkit posisi dan peran kaumnya. Sebagai orang ( salah satu etnis yang mendiami di Kabupaten Paniai dan Kab. Nabire pedalaman Papua) Albertina menilai budayanya telah menjerat dan mempersempit ruang gerak kaumnya. Dari sebagai pencari nafkah hingga pengatrol posisi dan gengsi sosial laki-laki( suami). Sementara dalam hal pengambilan keputusan dan penyelesaian masalah keberadaannya tidak diperhitungkan. Perempuann Mee dijadikan “ban serep” baru dilirik kalau dibutuhkan. Mereka lebih banyak berkutat digaris belakang sebagai “pengawal” urusan domestic; berkisar antara rumah dan dapur.
Ketidakadilan terhadap perempuan Mee juga tampak dalam pendidikan dan perkawinan. Laki-laki diprioritaskan ketimbang kaum perempuan. Anggapannnya pun hampir sama dengan apa yang lazim dilontarkan ; itu bukan bidang mereka, atau setinggi apa pun pendidikan mereka , toh akan kembali ke dapur.Dalam tradisi umum di masyarakatnya, perempuan sudah ditentukan untuk kawin dengan laki-laki yang diinginkan oleh keluarganya , bukan dikehendaki oleh perempuan sendiri. Peluang bagi perempuan untuk menentukan laki-laki yan diinginkan boleh dikatakan tidak ada. Bahkan gadis boleh dikawinkan dengan laki-laki yang berumur dan memiliki banyak isteri.
Mengapa tradisi lama ini harus didobrak, ?” situasi sudah berubah ,sekarang bukan zamannya lagi” jelas sekretaris PKK distrik Kamuu ini. Albertina mengatakan sesuai dengan sebagai pelayan umat alias Pastor Paroki Persiapan Santa Ratu Rosari Idakebo ,ia sering menyampaikan masalah kaumnya lewat renungan di mimbar dan berbagaio pertemuan. Walau, dirasakan sendiri,” belum mempan” .Ya mengubah tradisi butuh waktu,tidak bisa sehari semalam. Ia menyadari tidak bisa bergerak seorang diri.” Menangani persoalan seperti ini memerlukan kerjasama “ kata perempuan kelahiran Moanemani ini .
Menjelaskan ikwal laki-laki mengawini perempuan lebih dari satu , Albertina mengatakan hal itu bukan dikarenakan isteri sebelumnya tidak menarik lagi. Atau tidak memenuhi kebutuhan biologis suaminya, tapi terutama agar suami punya “pekerja”. Hal itu, sesuai dengan pembagian kerja tradisional yang berlangsung lama.
Tapi diingatkan diingatkan bahwa yang biasa beristeri lebih dari satu,hanya tonowi (orang kaya dan terpandang menmurut orang Mee) .Jadi tidak bisa setiap laki-laki dewasa kawin lebih dari satu perempuan.
Walaupun kritis terhadap tradisi lamannya , lulusan Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur Abepura ini menegaskan bahwa” dulu jarang ada perceraian,sekarang kasus perceraian bisa kita temukan setiap waktu”.
Albertina menuturkan ia sangat peduli terhadap perjuangan akan hak-hak kaum perempuan.Tapi ia menyadari sedang berhadapan dengan situasi yang pelik. “ Saya sebatas menyuarakan keadaan yang memprihatinkan itu lewat kotbah dan renungan “ katanya. “Walau sebagai perempuan Mee , yang lahir,besar ,hidup dan bekerja dalam lingkup orang Mee ,saya tak segan menyuarakan ketidakadilan ini”tambah Albertina.
Karena kondisi ini lama berlangsung ,laki-laki dan perempuan menerimanya sebagai sesuatu yang terberi. Orang yang sadar dan peduli tidak akan menerima realitas ini. Albertina mengatakan ,walau relative banyak perempuan yang melihat realitas ini, namun belum cukup orang yang peduli. Keinginan untuk menyuarakannya mungkin ada ,namun terbentur dengan budaya. Dalam rangka itu ,mungkin diperlukan wadah pemersatu untuk memberikan dukungan . Ada memang organisasi-organisasi perempuan , namun mungkin belum banyak menyinggung titik persoalan teristimewa masalah perjuangan kesetaraan gender. (emanuel goo)
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda