Selasa, 01 Januari 2008

NILAI PAPUA :DILEMATIS ANTARA HUMANISME DAN EKONOMIS


Oleh
Emanuel Goubo Goo

Pace Modestus pergi beli rokok di sebuah kios . Saat itu yang jaga kios adalah seorang Cewek . Pace beli rokok surya 2 bungkus dengan uang pecahan 50.000,-. Karena perempuan amber ini asik cerita deng dia pu teman yang bertandang di kios itu, praktis ko tara kase kembalian sampe lama sekali.Trus perem ko Tanya” pace mo beli apa lagi “ . Pace ini langsung serang perem “ saya bukan mo beli tapi sa tunggu sap u uang kembalian” . Memangnya kop u uang tadi berapakah?” . “ Makanya kalo orang beli jang rakus uang saja ,tapi liat bae-bae dia pu nilai,ukuran ,besaran ,luasan ,panjang, dan luasnya uang supaya kitorang tra tunggu lama seperti kamorang pu uang “ ajar pace Mode .
Demikian sekedar intermeso dalam mengawali tulisan ini. Barangkali ada yang bertanya dalam benaknya ,apa relevansi humor dengan topic tulisan ini” Nilai Papua dalam kancah humanisme dan ekonomi . Apa nilai Papua . Mengapa Papua ada nilainya? Apa tolak ukur Papua memiliki nilai ? . Tidaklah berlebihan kettika dilontarkan secara spontan dengan bebagai pertanyaan yang kritis demi melihat Papua dari sisi ,nilai dan potensi ekonomi yang ada, secara seutuhnya bagi orang Papua sendiri, saudaraku dari luar Papua, maupun yang berada diluar Papua.
Dalam untaian ulasan ini akan dianggap memojokkan saudaraku dari luar Papua,namun bukkan maksud dari tulisan ini, tetapin lebih hendak mengulas realitas yang ada dan sedang terjadi di Papua .Dari sini pula hendak mengulas nilai Papua dari matra ekonomi dan nilai humasnisme yang terjadi dewasaini.
Nilai dan potensi ekonomi di Papua ini dapat disimak dari apa yang pernah dilontarkan DRS. Agus Alue Alua dalam suatu pertemuan beberapa waktu lalu sebelum menjadi anggota MRP , bahwa Orang Luar Papua datang ke Papua bukanlah mencintai Mas-Mas Papua akan tetapi hanya mencintai Emas-emas yang ada di Papua. Dari uangkapan ini tersirat makna, dan nilai Papua dari segi ekonomi dan humanisme .Di satu sisi menyinggung nilai manusia , sedangkan pada pihak lain mengandung nilai ekonomi . Nilai dan potensi ekonomi Papua ini memberi peluang dan harapan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya, sehingga peluang-peluang yang adapun dimanfaatkan bahkan dimonopoli oleh petualang ekonomi mulai dari kelas teri hingga kelas kakap.Sedangkan nilai humanisme (manusianya) atau nilai akan mas-mas dan Mbak-mbak Papuanya dikesampingkan dan tak jarang diperhitungkan dalam berbagai segi kehidupan dengan menyodorkan stigma orang Papua “ Pemalas, pemabuk, pencuri, OPM,hitam tralaku, muka anjing, dan lainnya . Simpelnya nilai ekonomi menjadi prioritas dari pada nilai humanisme bahkan bila diurutkan dengan angka maka barangkali nilai humanismenya berada pada nomor yang keseratus . Kendatipun diakui bahwa tidak semua orang pendatang berorientasi pada nilai ekonomi, sebab sebagiannya dating demi pengabdian / tugas dengan menjunjung nilai kemanusiaannya yang tinggi bahkan ada yang mengaku orang Papua sebab lahir dan besar di Papua.
Nilai humanisme yang cukup jauh dari gapaian dan harapan , dapat disimak lewat beberapa catatan kecil yang acapkali disaksikan dalam realitas sehari-hari. Di Toko –toko atau kios misalnya , ketika Manus seorang Pemuda hendak beli di kios tetangganya. Penjual bukannya melihat pemuda ini tetapi semua pandangannya (mukanya) berada di tempat lain atau pura-pura cerita dengan orang lain yang berada dalam kios. Atau ketika Yones menggandakan suratnya di tempat Foto copy, ketika disuruh rapikan , dengan wajah yang murung melayaninya. Sehingga disini nampak bukan pelayanan terbaik yang diberikan kepada konsumennya tetapi dikejar toh hanyalah nilai rupiah. Atau pada kasus lain dapat disorot pada toko-toko yang ada di Nabire. Tidak adapat kita temui seorang Papua jadi Pramuniaga di took-toko yang ada di Nabire .Yang kerja di toko-toko rata-rata saudar-sadara dari luar Papua . Apakah di Kabupaten Besar ini trada orang Papua, sehingga tidak direkrut sebagai pramuniaga.
Atau Hari itu Seorang ikut menumpang Taksi tujuan ke Siriwini, kebetulan atau disampingnya itu duduk seorang dari seberang. Maka ketika ibu ini naik semua mata dan hidungnya ditutup pakai sabuk tangan. Dari sini dapat dimengerti dan bertanya apakah memang hanya mencintai emas-emas yang ada di Papua daripada manusia yang nota benenya sederajatnya dengan sesama yang lain, entah kulit putih, hitam maup[un sawo matang? Apakah orangt Papua ini bukan manusia yang diciptakan Tuhan?. Kasus seperti diatas ini secara tidakj langsung ,tidak nampak tetapi secara psikologis hal itu dirasakan oleh Orang Papua ,yang akhirnya orang Papua tidak dihargai bahkan termarginalkan dari segala dimensi kehidupan.
Komentar Agus Alue Alua ini terkuak ketika otsus belum digulirkan di Papua,lalu bagaimana dengan posisi Manusia Papua sesudah genderang otsus di tabuh di Papua selama 5 tahun lebih ini dengan slogan ORANG PAPUA MENJADI TUAN DI NEGERI SENDIRI?. Apakah Orang Papua sudah menjadi Tuan Di Negeri Sendiri secara Ekonomis dengan dana-dana otsus yang digulirkan Triliunan rupiah itu ? Nampaknya Orang Papua masih takandas seperti sebelum otsus bergulir, sebab dana-dana otsus dinikmati oleh kalangan elit politik dan elit petualang ekonomi yang ada di Papua sehingga menimbulkan batas –batas kesenjangan social ekonomi yang mencolok. Secara ekonomis pula dapat diamati dan bertanya pada orang Papua bahwa siapa yang menjadi tuan di negerinya sendiri ? Realitas menjadi sebaliknya Orang Papua menjadi pendatang di negeri sendiri. Semua peluang-peluang ekonomi dimanfaatkan orang lain, penjualan sayur saja bukan lagi di pasar namun dari rumah ke rumah dengan kendaran roda dua maupun roda empat lantas bagaimana dengan mama-mama penjual sayur di pasar belantai tanah dan beratapkan langit dibawah terik matahari di Pasar Karang ,Pasar sore di Siriwini dan lainnya?.Dapat disimak lagi system ojeknisasi, berapa banyak orang Papua yang menjadi tukang ojek ? Sementara pangkalan ojek yang bermunculan bak jamur di waktu nusim hujann ini dikuasai oleh pendatang, malahan tukang ojek pendatanbg baru yang patut dicurugai ,apakah sudah lama di Papua atau migrant spontan pasca otsus yang sengaja dikirim untuk memanipulasi peluang ekonomi, juga mengacaukan situasi yang kondusif?
Kasus skala besar sempat terungkap dalam suatu dialog interaktif Di TVRI Pusat akan hal program Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan(PPH) bahwa program transmigrasi ini para petualang ekonomi memanfaatkan warga tranmigrasi sebagai sarana empuk untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya via program PIR (Perkebunan Inti Rakyat) dengan usah perkebunan kelapa sawit di Arso, Lereh, di Manokwari dan daerah lainnya yang akhirnya masyarakat local sdan transwmigran menjadi buruhy bagi petualang ekonomi. Sedangkan lahan milik masyarakat local dicaplok sehingga masyarakat kehilangan sumber mata pencaharian sehari-hari. Kita tilik lagi Proyek LNG Bintuni di Manokwari yang katanya diprioritaskan masyarakat local dalam perekrutan karyawanmaupun pemberdayaan namun kinikehadiran LNG meresahkanbagi masyarakat local sebab banyak karyawan yang didatangkan dari luar Papua Para petualang ekonomi alais pemil.ik saham mendatangkan karyawan dari luar Papua sementara masyarakat local menjadi penonton(Baca: Suara Perempuan edisi Februari 07). Lantas bagaimana masyarakat local? Hendak kemana mereka mengadu nasib?. Akankah terulang kembali Freeport ke dua ? .Kapan orang Papua dimanfaatkan dan diberdayakan ? Akankah Orang Papua akan menjadi budak belian abadi di Negeri sendiri dengan berbagai stigma ,pemabuk, OPM, Pemalas, tratau mandi, bodoh, dan lainnya yang belum tentu menjamin kebenarannya. Yang jelas hal sepertiini tidak mendasar juga tidak semua orang Papua pemabuk, pemalas,yang kesemuanya mendiskreditkan orang Papua. Hal seperti ini pula dibawa untuk membuka jarak kesenjangan anatara pendatang versus masyarakat local, kaya versus miskin, juga keraguan unbtuk memanfaatkan orang Papua semakin tebal yang akhirnya orang Papua semakin terpinggir.
Disinilah ekonomisnya tanah Papua bagi petualang ekonomi di Papua dan umumnya di Indonesia dalam meraup keuntungan yang lebih besar daripada perhatian nilai akan manusianya , hal ini dapat dibaca dari kasus-kasus yang terurai di atas , sebagaimana manusia Papua trada nilainya dari beberapa stigma dan asumsi yang tidak mendasar. Akan kebenarannya .
Nilai ekonomi tanah Papua ini pernah diungkapkan juga pada pertemuan masyarakat Papua di Biak dengan mantan Presiden Megawati Soekarno Putri ketika hendak meresmikan operasinya Perusahaan LNG di Bintuni. Ia mengatakan “ Apabila Papua keluar dari NKRI berarti Indonesia tidak lengkap”. Dalam hal ini Megawati menghendaki Papua tidak akan dilepaskan dari RI sebab Papua memiliki nilai multiekonomis yang nantinya menjadi lahan subur bagi petualang ekonomi dan elit politik,juga orang Papua menjadi ajang suatu hajat dari penguasa. Lalu bagaimana dengan Mas-Mas dan Mbak-Mbak Papua (Pace-pace & mace –mace) ? Tra perlukah? Nilai ekonomi lebih mendominasi dalam semua aspek kehidupan daripada nilai manusia Papua. Suatu dilematis antara nilai manusia Papua dan ekonomi Papua. Pernahkah berpikir akan dilema ini?Apabila manusia mengagungkan nilai ekonomi daripada humanismenya yang semakin jauh dari gapaian ini?. Akankah orang Papua menjadi budak di Negerinya Sendiri 2010? Entahlah .Tetapi kita tunggu slogan dari otsus yang yang digembar-gemborkan pada 6 tahun lalu “menjadi tuan di atas Negerinya Sendiri atau menjadi pendatang di atas Negerinya sendiri “.

Penulis Wartawan Suara Perempuan Papua

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda