Senin, 14 Januari 2008

Dimanakah Rumah Aman Bagi Anak ?


Alberth Nebore *)

Anak-anak kita, bukanlah milik kita. Mereka adalah anak-anak kehidupan yang merindukan kehidupan sendiri. Melalui kita mereka lahir, namun bukan dari kita. Mereka ada pada kita, tapi bukanlah hak kita. Berikan mereka kasih sayang, tapi jangan pernah memberi bentuk-bentuk pikiran, sebab mereka memiliki pikiran mereka sendiri. Kita berhak membuat rumah untuk tubuh, tapi bukan untuk jiwa mereka. Sebab, jiwa-jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan; yang tidak kita kunjungi, sekalipun hanya dalam mampi.” Demikianlah, antara lain, Kahlil Gibran penutur bijak pernah berucap tentang anak-anak dan tugas orang tua untuk membimbing mereka. Bimbingan orang tua pad aanak diibaratkan sebagai bentuk tuntutan seseorang yang melewati jembatan penuh resiko untuk tiba pada tujuan dengan selamat. Salah satu bentuk dari kepedulian orang tua adalah selalu berusaha menyediakan pilihan-pilihan yang terbaik untuk anak-anaknya. Pertanyaan kita, dimanakah rumah yang aman bagi anak, kalu dirumah sendiri anak lagi merasa aman? Rumah merupakan “Pusat pelatihan” hidup bagi anak untuk survive dalam kehidupan riil. Rumah bagaikan satu pusat studi perilaku, di mana ayah dan ibu merupakan direkturnya. Di rumahlah anak-anak mempeoleh haknya untuk bertumbuh secara maksimal, dasar-dasar etis diajarkan dan diletakkan di bawah bimbingan orang tua, sementara anak-anak bertumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa. Harapan akan rumoah sebagai tempat yang aman anak, semakin terasa jauh belakangan bentuk kekerasan terhadap anak berlangsung. Ada kisah memilukan Indah Saro, tiga tahun enam bulan dan Lintang Syaputra, 11 bulan, yang dibakar ibu kandung mereka pada Minggu, 1 Januari lalu di Serpong Tangerang. Nyawa Indah tak tertolong setelah usaha memulihkan luka bakarnya gagal. Indah Sari meninggal dunia di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Sedangkan Tia, bocah Sekolah Dasar di Jakarta Utara diseterika ayah kandungnya sendiri hingga menjerit-jeri. Kedua kaki bocah ini berair dan mengelupas. Belum lagi cerita menyedihkan yang menimpa Eka Suryana, 7 tahun yang dicekik ibu tirinya hingga tewas setelah diperkosa pamannya. Semua peritiwa ini dan kisah-kisah menyedihkan lainnya justru terjadi dalam rumah.
*** Kekerasan terhadap anak merupakan tambahan persoalan serius di Papua, setelah ancaman wabah HIH/AIDS yang sangat serius. Praktek-praktek kekerasan terhadap anak cenderunig meningkat dari waktu ke waktu. Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat, tahun 2004 terjadi 441 kasus kekerasan. Angka kekerasan tersebut meningkat tajam pada tahun 2005 menjadi 736 kasus. Kasus-kasus kekerasan tersebut berbentuk fisik, psikis dan seksual. Dalam wujud kekerasan psikis dan rohaniah, kita menemukan, misalnya, puluhan anak Papua yang terlibat dalam penggunaan zat adiktif, sperti lem Aibon. Sampai-sampai sudah menjadi santer julukan “Anak Aibion” di kalangan masyarakat. Atau anak-anak yang dipaksa atau terpaksa mengikuti orang tuanya dalam aktivitas ekonomi. Misalnya, berjualan di pasar, atau mendulang emas. Sebuah aktivitas yang sesungguhnya meresikokan kesehatan. Tingkat buta huruf di kalangan anak-anak juga memprihatinkan. Anak-anak kini terjepit antara mengikuti kemauan orang tua demi memenuhi nafkah keluarga dan menurut ajakan kelompok peduli kemanusiaan untuk masa depan yang lebih baik. Anak-anak juga – terutama putri – berada dalam tekanan adat dan budaya, antara menuruti harapan keluarga sebagai sumber harta kelak kawin dan desakan dunia mutakhir sebagai pribadi yang memiliki hak-hak untuk membuat pilihan. Sementara itu, struktur masyarakat dan lingkungan sekitar cenderung tidak memberikan tempat bagi anak-anak. Banyak anak yang terhambat dalam usaha mewujudkan bakat dan minatnya. Mereka sudah pasrah ketika beranjak remaja, kecewa, akibat seringnya terpinggirkan struktur masyarakat. Akhirnya, mereka tidak percaya diri, bertingkah aneh/menyimpang dari kebiasaan umum (social disorder). Di kota Timika – seperti yang penulis amati – rata-rata kelompok remaja yang tak sekolah atau putus sekolah, saban hari mangkal di Pasar Timika. Puluhan remaja ini, memahami keberadaan kota, Pasar Timika, barang-barang dan makanan yang diperdagangkan sebagai hutan atau pantai bersama potensinya : dusun sagu, ikan, udang, dan lain-lain. Potensi yang mudah dan selalu tersedia, gratis dan boleh dimanfaatkan kapan saja. “ Meramu “ barang-barang kekas (buangan) di pasar sudah menjadi praktek hidup sehari-hari. Hasilnya meramu itu dilego ke pembeli barang bekas. Hasilnya untuk membeli “ Lem Aica Aibon “ atau minuman keras. Kebiasaan dan ketergantungan pada Aica Aibon, tak muncul begitu saja. Ada sejumlah sebabnya. Fi0nce Kamoroko, salah satu anggota “ geng “ remaja jalanan menuturkan, mereka merasa telah disingkirkan masyarakat. “ Orang-orang seperti kami, mungkin tidak diperlukan lagi ,” ungkapnya. Alasan senada dikemukakan Yustinus Wayaru, Siprianus Kamteteyau atau Agus Minaweyau merasa. Meraka menganggap masyarakat telah berpaling dari mereka. Bagian dari komunitas yang terbuang, tak diacuhkan. Anak-anak bukanlah milik orang tua, karena itu paradigma bahwa anak merupakan objek yang dapat diperlakukan menurut kemauan orang dewasa perlu diubah, diperbaiki. “ Orang tua nomor pertama, anak kandung nomor kedua dan anak tiri nomor ketiga. “ Paradigma urutan nomor seperti itu adalah cara pandang yang salah, karena itu harus diperbaiki. Anak-anak memiliki harapan dan hak untruk hidup. Harapan orang dewasa (orang tua) agar kemauannya selalu diikuti anak-anak merupakan salah satu bentuk kekerasan. Apalagi kemauan itu diikuti dengan ancaman, hukuman dan pemukulan. Anak-anak perlu diberi kebebasan dalam batas-batas tertentu. Sudah pasti proses pembimbingan dan pengawasan tidak diluputkan disini. Kekesalan dan kemarahan terhadap anak sering juga dikarenakan persoalan-persoalan dalam kerja, seperti merosotnya kinerja di kantor, konflik dengan rekanan bisnis, mandeknya karier, ancaman PHK, pendapatan yang berkurang. Anak yang menyaksikan atau mengalami sendiri kekerasan dalam rumah tangga, paling mungkin mengulang hal serupa pada anaknya kelak, atau lingkungan sosialnya. Memutus mata rantai ini adalah dengan mengembangkan kasih sayang dan cinta dalam keluarga.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda