Rabu, 16 Januari 2008

Batas Hak Ulayat Tanah Adat Tidak Identik Batas Wilayah Administrasi Pemerintahan

Oleh : Alexander Edowai, S.IP


Tanah, hutan, air dan segala isinya baik makluk hidup maupun benda mati yang ada di dalam dan di atas tanah merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia dan merupakan sumber kehidupan manusia. Dalam pandangan masyarakat adat, tanah dan segala isinya dipandang sebagai ibu/mama atau dengan penamaan lain, yang selalu memelihara dan memberi hidup dan kehidupan manusia sebagai insan-insan ciptaan Tuhan Allah sendiri.

Menyadari arti penting dan fungsi strategis dari tanah dan segala isinya bagi kepentingan hidup manusia dalam hal ini termasuk orang pribumi Papua, maka tanah dimaksud selalu dijaga/dipelihara dan dilestarikan oleh para tuan tanah selaku pemilik hak ulayat dari sejak dahulu kala manusia diciptakan oleh Yang Maha Kuasa sampai dengan sekarang bahkan selanjutnya pula secara regenerasi/turun temurun.
Berkaitan dengan hal dimaksud, maka tanah masyarakat adat di bumi Papua tidak bisa diganggu gugat oleh siapa atau pihak manapun, kecuali para tuan tanah mengijinkan atau menyerahkan kepada pihak lain untuk memakai atau menggunakannya.
Pemerintah menyadari bahwa hak ulayat tanah masyarakat adat Papua merupakan bagian yang esensial dan perlu ditangani secara serius, sehingga melalui kebijakan Pemerintah dengan jelas dan tegas telah diatur/ditetapkan dalam UU-RI Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua, sebagai jaminan hukum atas hak tanah bagi orang asli Papua yang nantinya secara eksplisit akan dijabarkan dan ditetapkan lagi dengan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Papua.
Namun perlu kita memahami bersama bahwa masalah batas hak ulayat tanah masyarakat adat bukan merupakan batas wilayah administrasi Pemerintahan, karena pengertian batas hak ulayat masyarakat adat tidak identik dengan batas wilayah administrasi Pemerintahan.
Batas hak ulayat tanah masyarakat adat adalah batas suatu wilayah tanah, hutan, air dan segala isinya yang telah dimiliki oleh masyarakat hukum adat tertentu secara turun temurun atas suatu wilayah yang merupakan lingkungan hidup para warganya. Sedangkan batas wilayah administrasi Pemerintahan adalah batas pelayanan Pemerintah kepada masyarakat dalam rangka pembinaan kemasyarakatan dan pelaksanaan pembangunan di dalam wilayahnya, yang secara formal ditetapkan dengan Peraturan Perundang-undangan dan telah mendapat pengakuan dari Negara secara Nasional maupun Internasional.
Contoh riil batas hak ulayat tanah masyarakat adat antar Negara, Masyarakat hukum adat PNG dan NKRI yang berdomisili di daerah perbatasan yakni Vanimo dan Skow. Masyarakat Indonesia di Skow-Indonsia yang mempunyai hak ulayat tanah di Vanimo-PNG dan sekitarnya diijinkan untuk berkebun, begitupun sebaliknya masyarakat Vanimo-PNG yang mempunyai hak ulayat tanah di Skow-Indonesia dan sekitarnya diperbolehkan/diijinkan untuk melakukan aktivitas perekonomian yang sama seperti tersebut di atas.
Terkait dengan batas wilayah administrasi Pemerintahan Kabupaten Dogiyai yang baru saja dimekarkan dari Kabupaten Induk Nabire, telah ditetapkan secara resmi batas wilayahnya dengan sebuah Undan-Undang Pemekaran/Pembentukan Kabupaten Dogiyai yang meliputi 10 (sepuluh) wilayah Distrik Yakni Distrik Kamu, Kamu Utara, Kamu Selatan, Kamu Barat, Kamu Timur, Mapia, Mapia Barat, Mapia Tengah, Sukikai dan Sukikai Selatan.
Hal dimaksud tidak mempengaruhi batas hak ulayat tanah masyarakat adat dan hubungan social budaya lainnya yang terdapat di daerah perbatasan. Jika masyarakat yang mempunyai hak ulayat tanah di Kabupaten Nabire dan Kabupaten lainnya yang berbatasan langsung dengan Kabupaten baru Dogiyai seperti Kab. Paniai, Mimika, kaimana dan sebaliknya di daerah perbatasan, maka dalam hal ini beberapa Pemerintah kabupaten yang berbatasan dimaksud tidak akan campur tangan dalam urusan hak ulayat tanah dan segala isinya.
Artinya bahwa masyarakat adat boleh saja melakukan aktivitas perekonomian di luar batas wilayah administrasi pemerintahan kabupaten Dogiyai, karena memilikih hak ulayat tanah adat yang luas dan melewati batas wilayah administrasi Pemerintah Kabupaten lainnya, dan sebaliknya masyarakat adat yang mempunyai hak ulayat tanah yang luas dan masuk di wilayah Kabupaten Dogiyai tidak haram juga bagi masyarakat untuk melakukan aktivitas perekonomiannya. kecuali dalam hal pengambilan Sumber Daya Alam (SDA) dalam batas wilayah administrasi Pemerintahan tertentu, sangat memerlukan izin dari Pemerintah kabupaten yang bersangkutan dan masyarakat setempat yang mempunyai hak ulayat tanah, hutan, air dan segala isinya.
Berkenaan dengan aspirasi yang disampaikan oleh masyarakat Mapia lama yang tergabung dalam lembaga SIMAPITOWA beberapa waktu lalu kepada DPRD bahwa tidak mau bergabung dengan Kabupaten baru Dogiyai yang merupakan pemekaran dari Kabupaten induk Nabire, dengan alasan bahwa sebagian besar hak ulayat tanah masyarakat adat berada di wilayah Kabupaten Nabire.
Kalau memang benar-benar aspirasi masyarakat yang disampaikan itu hanya menyangkut batas hak ulayat tanah masyarakat adat dan tidak ada muatan kepentingan segelintir orang dibalik aspirasi dimaksud, maka hal-hal yang dijelaskan tersebut diatas walaupun inparsial menjadi bahan renungan kita, bahwa batas hak ulayat tanah masyarakat adat agak berbeda dan tidak ada pengaruhnya dengan batas wilayah administrasi Pemerintah kecuali dalam hal-hal tertentu.
Yang jelas Undang-Undang pemekaran Kabupaten baru Dogiyai secara tersirat telah terbentuk pada tanggal 6 Desember 2007, namun kini telah menjadi sebuah Undang-Undang pada tanggal 4 Januari 2008 dengan Nomor UU 08 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Dogiyai Di Wilayah Propinsi Papua. dimana didalamnya pasti saja terdapat pasal dan ayat yang mengatur tentang batas wilayah administrasi Pemerintahan Kabupaten Dogiyai yang mencakup 10 (sepuluh) wilayah Distrik tersebut di atas.
Dengan demikian, Kalau ada pihak-pihak yang tidak setuju/menerima kenyataan yang terjadi dengan alasan batas hak ulayat tanah masyarakat adat, maka tidak dilarang untuk berpindah ke kabupaten induk Nabire atau ke Kabupaten lain yang dinginkan, tetapi batas wilayah administrasi Pemerintah tetap mengacu pada Undang-Undang Pemekaran Kabupaten Dogiyai.
Untuk itu semua pihak dengan berlapang dada harus menerima itu dan sebelum terlambat semua komponen masyarakat Dogiyai bergandengan tangan memikirkan bagaimana membangun Kabupaten Dogiyai ke depan di berbagai aspek kehidupan masyarakat, agar tidak terjadi hambatan dalam pelaksanaan pembangunan selanjutnya, karena dinilai semua aktivitas penyelenggaran Pemerintahan, Pembinaan kemasyarakatan dan pelaksanaan pembangunan akan dimulai dari Nol dan menjadi tolak ukur pembangunan selanjutnya di Kabupaten Dogiyai.
Pembangunan diberbagai aspek baik fisik maupun non fisik yang akan dilakukan oleh Pemerintah kabupaten Dogiyai, tentunya di atas hak ulayat tanah masyarakat adat Mapia dan Kamu, sehingga segala aspirasi berupa keinginan dan tuntutan dari masyarakat yang berkaitan dengan hak ulayat tanah dan segala isinya pasti akan diperhatikan secara serius oleh Pemerintah setempat secara bertahap.


Kepala Distrik Sukikai

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda