Rabu, 16 Januari 2008

Perempuan Papua Memikul Beban Ganda

Setiap hari seorang ibu bangun pukul 05. 00 pagi, lalu, mempersiapkan makanan bagi keluarga. Antara pukul 07- 08.00 perempuan yang ditemani anak-anak berusia balita bergegas menuju kebun. Di kebun ia bekerja seharian penuh mulai dari membuat bedeng, menanam, memanen hasil kebun yang sudah ada sambil menyiangi rumput. Ketika matahari condong ke bagian barat ia bergegas membawa pulang hasil kebun. Saat itu pula ia memikul beban berat sehingga tubuhnya membongkok kedepan mencari titik keseimbangan. Sementara seorang seorang bocah kecil naik duduk di punggung ibunya. Ia berjalan menyusuri kebatuan, melewati lembah yang penuh payah ( lumpur ) serta meniti tebing yang curam.
Setiba di rumah masih ada saja setumpuk pekerjaan yang segera dikerjakan ia membagi makanan bagi keluarga dan ternak. Memberi makan ternak, mengambil air yang jaraknya cukup jauh dari rumah lalu memasak makanan bagi keluarga terakhir ia melayani suaminya.Sementara perempuan gununung yang hidup di daerah perkotaan, selalin melakukan berbagai pekerjaan, ia harus berjualan di pasar guna membayar sekolah anak- anak atau pun membeli keperluan rumah tangga. Itulah ritme kehidupan perempuan-perempuan yang mendiami pegunungan tengah papua. Mereka bergerak dari rumah- kebun- ternak-kembali ke rumah lagi.
Lantas apa yang dilakukan oleh laki- laki selama perempuan melakukan pekerjaan diatas ? Apakah benar perempuan menanggung beban kerja yang berat ? Bagaimana akses perempuan terhadap kesehatan pendidikan dan lainnya, sementara waktu kesehariaannya dia melakukan banyak pekerjaan ?
“Itulah mutiara- mutiara hitam yang terpendam dan tak terlihat di balik gunung- gunung “ Kata Clasina. Saya lebih menangis dengan perempuan- perempuan di pedalaman, bagaimana tidak mereka sangat menderita. Dia melahirkan menggendong anak- anak, pergi jualan ubi, nasi turun gunung. Mereka tegar menghadapi penderitaan dan menanggung beban yang cukup berat. Mereka menyekolahkan anak- anaknya lalu jadi anggota DPR/ ataupun Sarjana, tapi apakah mereka perjuangkan penderitaan hidup mama- mama kita ?. kalau sudah dapat kursi empuk dan uang banyak, acap kali lupa akan jasa baik dari seorang ibu yang berada dibalik gunung. Mereka yang ada di balik gunung lebih menderita, sambil gendong anak dia masih makanan untuk keluarga sementara suaminya jalan di depan hanya pegang parang. Anak-anak mereka banyak jadi sarjana atau kerja di kantoran tapi tak ingat akan noken-noken (ibu) yang ada di balik gunung. Naik gunung turun gunung sendiri untuk mencari uang buat bayar sekolah anak mereka. Karena sangat berat beban kerja yang dipikul maka sudah saatnya kaum pria meringankan beban mereka lewat kerja sama, membantu istri. Hormati mereka dengan kerja sama (suami, laki-laki) guna meringankan beban kerja, ujar Sin kepada suara perempuan papua.
“ Mama- mama kerja terus menerus, kebun, ternak, urus anak jualan di pasar dan lainnya. Serba ekstra perannya, sehingga tidak ada waktu istirahat melepaskan kepenataannya, maka ia rentan terhadap berbagai penyakit, kata Theresia Dogomo. Karena sepanjang harinya bekerja mereka abaikan mengurus diri, kesehatan, dan akihirnya cepat tua.

Mereka serba ekstra, dari pagi sampai malam dia kerja terus. Ia merasa tanggung jawabnya maka kadang mengabaikan kesehatan dan mengurus dirinya. Sekalupun hujan, sakit, lapar, malam, dia kerja terus. Sekarang perempuan harus mampu berusaha mengejar kesejajaran antara laki dan perempuan melalui pendidikan. Dari pendidikan itulah kita dapat melihat dunia yang luas, akan bagaimana hak- hak kita yang terabaikan dapat kita rebut kembali.
Hal senada pun datang dari ibu Natalia Kobogau, kita dibeli dengan mas kawin tinggi, maka mereka harus piara anak, ternak, bekerja di kebun. Serta mereka itu merasa “ kewajiban” menjalani dan menanggung semua itu. Karena di- bayar dengan mas kawin yang mahal, maka takut untuk menyeleweng kepada suami maupun kerabatnya yang menunjukkan harga dirinya sebagai perempuan; Sekarang ibu- ibu sadar bahwa anaknya harus di sekolahkan maka selain mereka kerja juga jualan di pasar untuk membayar sekolah anaknya. Anak perempuan harus sekolah supaya dia tidak seperti saya ( ibunya ) yang kehariannya bekerja di kebun. Hal itu di latari penderitaan seorang perempuan lebih menderita di banding perempuan di daerah pantai, tandasnya kepada suara perempuan.
Budaya kita lanjutnya setiap hari kerja, naik gunung, terun gunung, melintansi lembah- lembah hingga beribu kilo meter sambil memikul beban diatas punggung guna menghidupi keluarga. Karena kehidupan perempuan gunung sepeti itu, maka kepada anak perempuan yang keluar daerah untuk menyenyam pendidikan di berbagai sekolah diharapkan membawa pulang sepanggal ijasah bukan untuk baku lihat lalu bawa pulang anak. Tak perlu kuliah untuk baku lihat dengan laki- laki lalu bawa pulang anak tapi belajar serius bawa pulang sepanggal ijasah. Biarlah mama- mama ini menjalani hidup mereka apa adanya, tetapi anak- anak perempuan harus belajar untuk merobek segala kekuatan budaya yang meningkat kita sebagaimana hak- hak kita dibatasi.
Perempuan menanggung beban kerja berat ini lebih di sebabkan oleh laki- laki memiliki sifat dan padangan kurang baik, kata Yulianus Mekey. Selain sikap Paternalistik ( kebapoan ) juga laki- laki memandang dan melihat bahwa perempuan hadir sebagai hamba, bukan dia datang untuk mendampingi suami. Perempuan dianggap hamba tenpa memberikan hak- hak dia.
Perempuan dalam kehidupannya menanggung segala beban pekerjaan, karena itu tidak perlu menanggung segalanya hanya seorang perempuan tapi sebagian dapat di lakukan oleh laki- laki agar ada keseimbangan. Perempuan bukan mesin pekerja. Sebuah mesin mobil saja perlu istirahat, apalagi tenaga manusia perlu ada waktu jeda melepaskan segala kepenatan. Perempuan dan laki- laki harus bekerja bersama, tanpa berat sebelah; Di ingatkan pula pepatah bahwa berat sama di pikul, ringan sama di jinjing. “ Memberi hikmah bahwa pekerjaan seberat apapun dilakukan keluarganya akan ringan adanya ini tandas Mekey.







“ Perempuan tulang punggung untuk menghadapi keluarga kata Marion Gobay, mantan Anggota DPRD Nabire. Bagaimana tidak dari pagi hingga sore mereka kerja.
mengurus ternak, anak, kebun mengurus dalam rumah, sehingga tidak punya waktu. Mengingat tidak punya waktu, maka kami mencari upaya bagaimana ibu-ibu yang kerja di kebun tetap bekerja lalu di bawa kepasar. Lalu ibu lain di pasar yang memasarkannya. Hal itu kami sedang jalani bagi mereka yang tingga di pinggiran kota Nabire melalui Ikatan perempuan Peduli ekonomi rakyat guna sedikit menjawab kecapean mereka, sebab kita lihat sepulang dari kerja di kebun, dia langsung ke pasar jualan, pulang kerumah dalam kelelahan. Ini kita tidak perlu biarkan. Penanggung beban keluarga adalah perempuan dan tidak pernah menuntut suami, terhadap keluarga. Kerja, sebab itu merasa tanggung jawab untuk turut kerja perempuan banyak kerja tapi bicara sedikit. “ Dapur harus ada asap agar memberi makan kepada anak suami serta kerabat lainnya hal itulah yang di pegang hampir semua perempuan. Ujarnya. Kendati suami memberi nafkah tapi mereka tidak cukup dengan apa yang di kasih dari suami, maka perempuan harus melengkapi. Suami membuat kebun besar tapi untuk melengkapi gizi dia pergi mencari udang atau ikan di danau atau di kali. Hal ini bukan meremehkan laki- laki atas nafkah yang diberi, tapi itulah lebih pada pengabdiannya kepada suami dan anaknya agar martabat dirinya muncul sebagai perempuan sejati.
Beban kerja lebih- lebih menanggung kesejahteraan keluarga perempuan memegang peranan yang cukup penting. Rata- rata mereka menanggung beban kerja cukup berat. Kata Piet Waine Peranan lebih pada pekerja, sehingga hubungan dengan dunia luar dirinya terbatas. Di samping bekerja dikebun mereka mencari udang, ikan, untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, lebih- lebih mereka yang tinggal di pinggiran danau.
Sebelum Sivilisasi ( kontrak ) beban kerja antara laki- laki dan perempuan cukup seimbang tapi sekarang dengan adanya pemerintah dan agama, lapangan kerja laki- laki hilang, maka yang ada sekarang laki- laki hanya duduk-duduk Urus Perkara, saling menyerang ungkit- ungkit masalah, untuk mendapatkan sejumlah uang. Maka akhirnya semua beban kerja ditanggung oleh perempuan. Tempat cari rotan, berburu, yang pesta babi ( yowo ) sebagai sarana perdagangan bagi orang mee sudah tidak ada akibat pembangunan, maka dengan sendirinya lapangan kerja laki- laki sudah sirna. Berbagai lapangan kerja baru muncul seperti judi, dimana ada tempat ramai- ramai di situ ada judi untuk cari uang . Ini menjadi suatu lapangan kerja baru. Memang beban kerja perempuan cukup berat sebab ia merasa tanggung jawab terhadap suami/ anak. Mereka pagi- pagi keluar pergi beli sayur di luar kota dengan mengeluarkan ongkos transportasi besar, tenaga terkuras, uang yang ada habis untuk ongkos taxi. Sebenarnya baik usaha mereka tapi energi maupun biaya yang ada terbuang sia- sia karena pagi keluar dan pulang sore harinya maka anak dan suaminya terlantar. Hal ini banyak terjadi di pinggiran perkotaan seperti di Jayapura.




Karena menanggung beban hidup yang cukup berat, ada yang masuk dalam hidup pelacuran dengan menjual harga diri untuk mendapat uang. Perempuan mencari pekerjaan yang halal adalah memiliki harga diri seorang perempuan, sekalipun memikul beban kerja cukup berat. Di kampung, seorang perempuan pagi- pagi memasak makanan, siang pergi kerja, diwaktu tertentu pergi ke gereja, kembali lagi kerja, Urai Waine.
Saya teringat di Bilai ketika di gelar musyawarah pastoral tentang peranan perempuan dan laki- laki dalam keluarga. Seorang Sonowi ( tokoh masyarakat ) mengatakan “ Dulu kita yang cuki perempuan tapi sekarang perempuan cuki laki- laki, memang pernyataan itu bahan lelucon tapi mengandung sarana refleksi. Dalam pernyataan itu tersirat laki- laki dulu berburu, sekarang tidak berburu sebab ada babi, babi siapa yang piara ? perempuan. Untuk beli babi, dulu laki – laki beli dengan Kulit Bia ( Mege ) tapi sekarang membeli dengan uang. uang ada di mana ?. cari di noken- noken perempuan, sebab mereka yang jualan di pasar. Dulu pesta babi di kuasai oleh laki- laki, tapi sekarang pasar di kuasai perempuan. Dulu Youwo ( pasar rakyat ), laki- laki pergi beli dengan kulit bia tapi sekarang perempuan beli babi di pasar dengan uang. Bukan perempuan mengambil alih pekerjaan tapi kerja laki- laki sudah beruba maka segala pekerjaan di tanggung oleh perempuan. Laki- laki harus melihat, merubah, merefleksikan dalam berbicara, berpikir, bertindak, dan perlakuan kita terhadap perempuan.
Perlakuan suami terhadap perempuan kurang memberikan penghargaan dan kelegaan bagi mereka. Menghargai mereka dengan hal- hal sederhana sebagai bentuk terima kasih atas jasa baik. Hal- hal yang mereka juga merasa lega. Karena tidak ada perhargaan dan penekanan dari laki- laki, perempuan depresi terus menerus atas beban kerja yang berat. Kalau kita menghargai mereka dengan pujian dan syukur yang lahir dari hati yang tulus, maka mereka merasa pikul beban kerja yang berat tapi di hargai oleh laki- laki.
Sedangkan laki- laki harus menjadi bahan refleksi, bagaimana peran kita sebab perempuan berbuat lebih banyak hanya bagi suami dan anak- anak.
Memberikan pujian pada perempuan lewat doa sebelum makan atau tidur bahwa ibu kerja berat berikan kekuatan atau kesehatan baginya. Dengan demikian perempuan merasa di hargai, di perhatikan, oleh keluarga, maka dia melihat pekerjaan bukan merupakan tekanan depresi dan beban tapi merasa tanggungannya yang harus di-jalankan denga cinta dan tulus.
Atau penhargaan diberikan lewat hari ulang tahunnya, diajak refresing keluar/ ajak jalan-jalan bersama. Kita memakai tenaganya tapi kita tidak menghargainya untuk istirahat. Ibarat mobil, kita pakai terus, tapi dia juga pernah istirahat. Agar tidak cepat rusak. Apalagi manusia perlu ada waktu istirahat bukan kerja terus – menerus sepanjang hari. Laki- laki terlalu menuntut lebih dari kemampuan perempuan. Ketika pulang dalam kelelahan terakhir suami suruh melayani dalam keadaan lesu.
Tanggung jawab perempuan memikul beban berat sekalipun tidak smua perempuan. Sedangkan laki-laki menanti yang tersedia. Sebagian kecil perempuan lain main judi, pelacur tapi sebagian besar (99%) perempuan itu menanggung beban berat.


Perhatian dan penghargaan kepada perempuan perlu ada dan diwujudnyatakan melalui ucapan terima kasih (doa) dan berikan kans untuk melepaskan dari beban hidup yang menekan agar ada waktu untuk jeda, urai Piet waine.
Suatu penyebab adanya beban kerja berat bagi perempuan itu tingginya mas kawin yang di bayar, tapi hal itu tergantung dari sikap dan perilaku laki- laki melihat dan memposisikan perempuan. Pandangan laki- laki terhadap perempuan duludan sekarang sudah berubah sebab tingkat Pendidikan tinggi maka mas kawin pun meningkat tinggi. Tidak semua perempuan ditaruh mas kawin tinggi, tapi tergantung kita (laki- laki ) bagaiman penempatkan pada posisinya tanpa menekan ruang gerak mereka.
“ Peran perempuan dilihat berat sebelah hanya karena orang mee masuk pada masa transisi, kebiasaan sebelumnya dan situasi sekarang. Orang sekarang mulai beradaptasi. Pemaknaan peran perempuan sekarang dan dulu, dunia tradisional dan dunia modern penghargaan terhadap perempuan sudah ada sejak dulu. Hanya laki- laki dewasa ini salah memaknai perempuan dulu dan sekarang” kata Paskalis Butu, kepada suara perempuan.
Lebih jelas piter Muabuay, S.Sos menegaskan, peran secara tradisional laki dan perempuan di katakana seimbang. Laki-laki dan perempuan memiliki tanggung yang sama beratnya. Laki- laki bertanggung jawab terhadap urusan politik, ( membuat negosiasi dengan musuh, mengelar perdamaian ), menjaga keamanan, mengurus upacara adat, menyiapkan lahan baru, mencari kayu bakar, berburu, berdagang. Sedangkan perempuan bertanggung jawab terhadap urusan pencarian makan di kebun, mengurus anak- anak dan pekerjaan rumah tangga serta membantu laki- laki dalam menyiapkan upacara- upacara adat.
Sesudah adanya akulturasi ( kontak budaya ) dengan dunia luar, peran- peran tersebut berubah. Sebagaian besar peran laki- laki berkurang/ hilang, seperti menjaga keamanan, mengurus upacara adat, tugas membuka lahan baru yang di persingkat/ dipermudah dengan adanya teknologi baru yang diperkenalkan. Maka saat ini laki- laki memilki banyak waktu luang.
Lain halnya dengan perempuan dengan adanya perubahan ini peran tradisional perempuan masih tetap, bahkan di tambah dengan peran- peran baru sebagai akibat meningkatnya kebutuhan hidup seperti tanggung jawab mencari uang, mengikuti kegiatan- kegiatan sosial dan sebagainya.
Dengan demikian, di satu sisi laki- laki bertangan kosong karena perannya berkurang/ hilang di sisi lain, perempuan memiliki beban kerja yang cukup berat. Bahkan dapat di katakana laki- laki berada pada kondisi yang sedang kebinggungan untuk mengisi kekosongan peran tersebut. Lebih tegas di katakana bahwa saat ini telah terjadi ketimpangan atau ketidak adilan dalam pembagian peran antara laki- laki dan perempuan yang berada pada posisi yang berbeban berat urainya.


“ Pola pikir orang lain (pandangan orang luar) dan pola pikir seorang perempuan gunung berbeda. Perempuan dia berpikir bahwa kalau saya tidak kerja mau makan apa ?. Mereka tidak akan mengeluh atau berpikir bahwa saya kerja banyak ujar Andreas G, S.Sos. Kalau saya tidak kerja kebun, ternak babi, hidup mengambang tidak ada pegangan. Orang gunung hidup dari kenyataan dan pengalaman hidup bukan dari khayalan. Kebun, ternak babi, rumah dan noken menunjukkan jati diri orang gunung. Kalau tidak punya itu mereka mengatakan kamu bukan manusia gunung.
Bagi perempuan gunung pekerjaan bukan diberikan oleh laki-laki tapi justru dia menambah pekerjaan demi menunjukan jati diri (identitas) sebagai perempuan. Mereka tidak pernah menuntut sesuatu dari suaminya atau kerabatnya. Tidak merasa bahwa dirinya menanggung beban yang berat. Perasaan pekerjaan beban berat muncul ketika ia sedang mengalami krisis (melahirkan, hamil, sakit) selama masih mampu melakukan pekerjaan ia mengerjakan tanpa perasaan apapun, tegas Andi.

emanuel goo

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda